Jumat, 11 Februari 2011

TOKOH PERS INDONESIA


TOKOH PERS INDONESIA
Burhanuddin Mohammad Diah (lahir di Kutaraja, yang kini dikenal sebagai Banda Aceh, 7 April 1917 – meninggal di Jakarta, 10 Juni 1996 pada umur 79 tahun) adalah seorang tokoh pers, pejuang kemerdekaan, diplomat, dan pengusaha Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, pada 1959, B.M. Diah diangkat menjadi duta besar untuk Cekoslowakia dan Hongaria. Dari sana kemudian ia dipindahkan ke Inggris, lalu ke Thailand - semuanya untuk jabatan yang sama. Pada 1968 ia diangkat oleh Presiden Soeharto menjadi menteri penerangan. Belakangan Diah diangkat menjadi anggota DPR dan kemudian anggota DPA.
Pada usia tuanya, Diah mendirikan sebuah hotel di Jakarta, Hyatt Aryadutta, di tempat yang dulunya merupakan rumah orangtua Herawati. Jabatan terakhir yang dipegangnya adalah sebagai Presiden Direktur PT Masa Merdeka, dan Wakil Pemimpin PT Hotel Prapatan-Jakarta.
Adinegoro (lahir di Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, 14 Agustus 1904 – meninggal di Jakarta, 8 Januari 1967 pada umur 62 tahun) adalah sastrawan Indonesia dan wartawan kawakan. Ia berpendidikan STOVIA (1918-1925) dan pernah memperdalam pengetahuan mengenai jurnalistik, geografi, kartografi, dan geopolitik di Jerman dan Belanda (1926-1930).
Nama aslinya sebenarnya bukan Adinegoro, melainkan Djamaluddin gelar Datuk Maradjo Sutan. Ia adalah adik sastrawan Muhammad Yamin. Mereka saudara satu bapak, tetapi lain ibu. Ayah Adinegoro bernama Usman gelar Baginda Chatib dan ibunya bernama Sadarijah, sedangkan nama ibu Muhammad Yamin adalah Rohimah. Ia memiliki seorang istri bernama Alidas yang berasal dari Sulit Air, X Koto Diatas, Solok, Sumatera Barat. Dua buah novel Adinegoro yang terkenal (keduanya dibuat pada tahun 1928), yang membuat namanya sejajar dengan nama-nama novelis besar Indonesia lainnya, adalah Asmara Jaya dan Darah Muda. Ajip Rosidi dalam buku Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1982), mengatakan bahwa Adinegoro merupakan pengarang Indonesia yang berani melangkah lebih jauh menentang adat kuno yang berlaku dalam perkawinan. Dalam kedua romannya Adinegoro bukan hanya menentang adat kuno tersebut, melainkan juga dengan berani memenangkan pihak kaum muda yang menentang adat kuno itu yang dijalankan oleh pihak kaum tua.
Di samping kedua novel itu, Adinegoro juga menulis novel lainnya, yaitu Melawat ke Barat, yang merupakan kisah perjalanannya ke Eropa. Kisah perjalanan ini diterbitkan pada tahun 1930.
Selain itu, ia juga terlibat dalam polemik kebudayaan yang terjadi sekitar tahun 1935. Esainya, yang merupakan tanggapan polemik waktu itu, berjudul "Kritik atas Kritik" terhimpun dalam Polemik Kebudayaan yang disunting oleh Achdiat K. Mihardja (1977). Dalam esainya itu, Adinegoro beranggapan bahwa suatu kultur tidak dapat dipindah-pindahkan karena pada tiap bangsa telah melekat tabiat dan pembawaan khas, yang tak dapat ditiru oleh orang lain. Ia memberikan perbandingan yang menyatakan bahwa suatu pohon rambutan tidak akan menghasilkan buah mangga, dan demikian pun sebaliknya.
Pada tahun 1950, atas ajakan koleganya Mattheus van Randwijk, Adinegoro membuat atlas pertama berbahasa Indonesia. Atlas tersebut dibuat dari Amsterdam, Belanda bersama Adam Bachtiar dan Sutopo. Dari mereka bertiga, terbitlah buku Atlas Semesta Dunia pada tahun 1952. Inilah atlas pertama yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia sejak Indonesia merdeka. Pada tahun yang sama setelah atlas itu muncul, mereka juga menerbitkan Atlas Semesta Dunia untuk sekolah lanjutan.[1]
Dja Endar Moeda adalah perintis pers berbahasa Melayu kelahiran Padang Sidempuan, 1861. Dididik sebagai guru di sekolah pengajaran guru di Padang Sidempuan, kariernya di dunia pers dimulai sebagai redaktur untuk jurnal bulanan Soeloeh Pengadjar pada 1887.
Sepulangnya dari naik haji tahun 1893 Dja Endar Moeda memutuskan untuk bermukim di Kota Padang. Di sana selain mendirikan sekolah swasta dia menjadi redaktur Pertja Barat, yang didirikan oleh Lie Bian Goan. Pada tahun 1905, Dja Endar Moeda membeli Pertja Barat.
Dja Endar Moeda juga mendirikan beberapa media cetak lain di Medan dan Kutaraja (sekarang Banda Aceh. Pemberita Atjeh didirikan pada 1906. Dengan rekan-rekannya di Sjarikat Tapanuli dia menerbitkan Pewarta Deli, dengan dirinya sebagai pemimpin redaksi. Pada 1911 setelah keluar dari Pewarta Deli, Dja Endar Moeda menerbitkan Bintang Atjeh.
Djawoto (lahir 10 Agustus 1906 di Tuban, Jawa Timur, meninggal dunia 24 Desember 1992 di Amsterdam) berasal dari keluarga pangreh praja. Djawoto adalah seorang otodidak. Ia menguasai bahasa Belanda, Inggris dan ia menekuni ilmu ekonomi dan politik. Djawoto juga belajar sendiri untuk menjadi wartawan dengan membaca setiap hari. Bukunya "Jurnalistik dalam Praktek" adalah hasil pengalaman pekerjaannya sehari-hari.
Sejak tahun 1928 Djawoto sudah mulai menulis sebagai wartawan sampai kedatangan tentara pendudukan Jepang. Selama Perang Dunia II Djawoto bekerja sama dengan Adam Malik di Kantor Berita "Domei", satu-satunya kantor berita yang diizinkan hidup selama pendudukan Jepang.
Pada tahun 1945 Kantor Berita "Antara" dibuka kembali dan Djawoto kembali bekerja untuk kantor berita tersebut. Ketika Yogyakarta menjadi ibu kota Republik Indonesia, kantor berita ini pun pindah ke Yogyakarta dan Djawoto dipilih menjadi pemimpin Redaksi.



Panda Nababan (lahir di Siborong-borong, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, 13 Februari 1944; umur 66 tahun) adalah seorang wartawan Indonesia dan politikus dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Kedua orangtuanya, yaitu Jonathan Laba Nababan dan Erna Intan Dora Lumbantobing, bekerja sebagai guru. Nababan pernah bekerja sebagai wartawan di Harian Umum Warta Harian (1969-1970), Redaktur Harian Umum Sinar Harapan, (1970-1987), Wakil Pemimpin Umum Harian Umum Prioritas (1987-1988) dan Kepala Litbang Media Indonesia (1988-1989).
Salah satu puncak prestasinya sebagai wartawan ialah ketika ia memperoleh penghargaan jurnalistik Hadiah Adinegoro pada 1976.
Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo (Blora, 18801918) adalah seorang tokoh pers dan tokoh kebangkitan nasional Indonesia, dikenal juga sebagai perintis persuratkabaran dan kewartawanan nasional Indonesia. Namanya sering disingkat T.A.S..
Tirto menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907) dan Putri Hindia (1908). Tirto juga mendirikan Sarikat Dagang Islam. Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli.
Tirto adalah orang pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum. Dia juga berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu. Akhirnya Tirto ditangkap dan disingkirkan dari Pulau Jawa dan dibuang ke Pulau Bacan, dekat Halmahera (Provinsi Maluku Utara). Setelah selesai masa pembuangannya, Tirto kembali ke Batavia, dan meninggal dunia pada 17 Agustus 1918.
Kisah perjuangan dan kehidupan Tirto diangkat oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Buru dan Sang Pemula.
Pada 1973, pemerintah mengukuhkannya sebagai Bapak Pers Nasional. Pada tanggal 3 November 2006, Tirto mendapat gelar sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres RI no 85/TK/2006.[






Tidak ada komentar:

Posting Komentar